Hati
dan Logika boleh punya jalan masing-masing. Jatuh cinta boleh disertai
tindakan-tindakan konyol, atau ditutup-tutupi dengan beragam teori untuk
meredakan gemuruh di hati. Keduanya boleh berada di dua kamar yang berbeda.
Kini daku tak mau bersusah-susah mengumpulkan mereka di sisi yang sama.
Tuan
Sam dari negeri para penulis boleh berprinsip, sebaik-baiknya penulis ialah
penulis yang sanggup memadu hati dan logikanya dan mentransfer isi keduanya
menjadi tulisan yang bernas dan menggugah perasaan. Tapi, sepucuk surat cinta
yang isinya ungkapan hati semata ternyata bisa membawa sejoli ke pelaminan.
Atau kebijakan pemerintah yang sama sekali tak ada hubungannya dengan isi hati,
ternyata tetap dijalankan, meski dengan resiko rakyat semakin melarat.
Daku
tak meminta Hati dan Logika untuk terus-menerus berjalan beriringan. Kadang
ketika mereka berada di persimpangan hingga daku membuat keputusan
“simalakama”, daku tak menyesal jika harus mendahulukan salah satu dari
keduanya. Dan sebagai lelaki, daku akui, seringnya daku pilih kasih dan
memenangkan Hati jika keduanya sedang bertengkar di dalam diri. Toh, Logika
tidak lantas marah-marah. “Kau boleh pilih dia, tapi Logika dari orang
sebelahmu jangan kau abaikan,” begitu saja Logika pasti berkata.
Bukan
hidup yang terlalu berengsek yang membuat daku sempat memaksakan keduanya
berada dalam bingkai foto yang sama. Kini mereka boleh punya bingkainya masing-masing,
dengan pilihan model atau warna yang berbeda. Itu bukanlah masalah besar bagi
daku sekarang ini. Terkadang, perbedaanlah yang membuat kita bersatu, karena
kita butuh pelengkap. Jadi, kalau Hati sudah mulai tak masuk akal dan berjalan
tak menentu, daku akan melepaskan Logika dari kandangnya. Ia pasti menyegerakan
untuk menunjukkan pada Hati jalan mana yang benar. Begitu juga, ketika Logika
sedang berlaku buas, akan kukeluarkan Hati dari kotak mungil berwarna merah
muda, dan Hati akan membujuk Logika untuk tidak terlalu ganas.
Bagaimana
dengan hati dan logikamu, kawan?
By.
Ikhwan Insan CIta